Tentang Kecewa dan Kecewa Lagi

Hai !
Sudah lama tak bersua kah?
Saya baik baik saja, bagaimana dengan kalian? Tidakkah ada yang lebih baik daripada masih punya kesempatan untuk bercengkrama dengan diri sendiri membaca cerita orang lain? Atau mencari informasi dari orang lain?

Cerita ini tentang saya yang tahun ini masuk perguruan tinggi. Panjang sekali ceritanya, sangat emosional dan tidak dapat dilupakan –karena baru saja terjadi. Hahaha
Saya berkampus di Bina Nusantara University dengan jurusan Marketing Communication, dengan cerita yang penuh pertumpahan air mata. Hahaha, tentu saja itu berlebihan. Saya mendaftar di 3 Universitas lain dengan 2 jalur, semuanya menolak saya tanpa bekas, entah apa alasannya. Rasa kecewanya masih sering menyesakki langkah saya.

Jalur pertama, SNMPTN. Jalur rapot yang memperbolehkan saya berharap setinggi langit, karena jurusanyna pun saya pilih berdasarkan nasib, bukan lagi minat. Ternyata ditolak, tanpa alasan dan tanpa pesan apapun. Rencana saya, tidak akan ada lagi tes menuju Perguruan Tinggi Negeri, karena bagi saya gagal disini artinya tidak ada lagi jalan menuju PTN, tidak ada restu dari Tuhan.
Tapi ternyata, Tuhan ingin saya mengikuti tes lanjutan, SBMPTN, tanpa harapan dan tanpa usaha saya datang untuk perguruan tinggi negeri. Lambat laun ternyata saya menadari bahwa saya berhohong tentang harapan. Saya berharap, bahkan berharap lebih besar dibanding yang telah menghabiskan waktunya untuk bimbingan belajar. Padahal, saya tau bahwa yang akan memasukkan saya ke sana hanya Tuhan, hanya belas kasih Tuhan. Benar benar hanya itu. Lalu sebenarnya berharap untuk apa? Belas kasih tuhan? Silakan tertawa.
Seperti yang saudara-saudara pikirkan, saya kembali gagal. Saya kembali dengan status sedih dan kecewa untuk yang kedua kali. Kembali menjadi manusia naif yang sedih untuk alasan yang jelas dibuat buat. Untuk alasan yang sebenarnya tidak ada. Hahahaha

Binus menjadi pihak pertama dan satu satunya menerima saya. Binus menjadi satu satunya pihak yang percaya kepada saya, tau kenapa? Karena binus berjanji untuk mengembalikan uang saya jika saya diterima di perguruan tinggi negeri. Binus berjanji untuk memberikan saya penghargaan, dan binus tidak pergi. Binus memberikan saya pilihan. Binus memberi saya kesempatan berpikir, dan tetap di sana tanpa mundur barang sesentipun. Binus menerima saya dalam arti yang sebenarnya.

Kemudian saya sampai pada saat dimana saya sadar bahwa ternata mungkin yang terbaik memang ada disini. Sampai pada saat orang orang bertanya “ jadi, fix Binus?”, saya menjawab “ya Cuma Binus yang mau nerima, terus mau ngarepin yang kayak gimana lagi?” sembari tertawa tentu saja. Saya kecewa kemudian kecewa lagi, tapi rasanya saya bersyukur, ternyata yang terbaik memang tidak akan pergi. Binus pilihan pertama saya, dan binus yang harusnya menjadi pilihan. Bukan yang lain.

Saya kecewa kemudian kecewa lagi, dan bahkan tidak ikhlas untuk melepas impian saya menjadi mahasiswi perguruan tinggi negeri. Tapi kenyataan yang sebenarnya, saya memilih bangkit dan mempersiapkan mental saya untuk ospek pada tanggal 4 nanti. Saya ingin benar benar mengikhlaskan yang menolak saya untuk pergi. Saya ingin mengikhlaskan sesuatu yang tidak pernah berhasil saya raih. Saya ingin mengikhlaskan sesuatu yang memang seharusnya bukan menjadi milik saya. Saya ingin berbahagia dengan hidup saya setelah ini. saya ingin mencintai binus, sebagaimana dia mempertahankan saya dan menunggu saya hingga kembali. Saya ingin menikmati hidup saya dengan banyak penerimaan, bukan hanya hidup bersama penolakan yang terus terusan menjadi penolakan. Saya ingin menghargai setiap penerimaan yang ada, bukan hanya meratapi setiap penolakan. Apakah pantas sebuah penerimaan dibalas dengan penolakan? Apakah pantas menjadi pihak yang sombong?




Itu sama sekali bukan masalah jika kita dihadapkan dalam pilihan. Sekali lagi, jika dalam sebuah pilihan. 

Comments

Popular posts from this blog

Dear A.

Perks of Being Loved by ye bestfriend

aku curhat