Judging and Being Judged
Belakangan
ini dunia sosial sedang hobi membuat kotak bagi masyarakatnya. Bagi si perokok,
tukang selingkuh, gay, lesbian, si Muslim, Kristen, si Hindu, si Buddha, si
Cina, bahkan bagi hal seperti laki laki dan perempuan. Bukan lagi masalah
strata sosial yang membantu kita mengkotakkan orang orang itu, tapi semua
anggapan dan persepsi kita masing masing. Sudut pandang yang tidak berdasar,
semua anggapan yang berlandaskan kepada perasaan, bahkan pikiran naïf tentang
baik dan buruk.
Beberapa hari
yang lalu, saya menemukan foto di Path dengan tulisan :
“ Ketika wanita bisa setia untuk satu lelaki, kenapa lelaki tidak bisa demikian? Bertahan setia untuk satu wanita”
Hal yang saya
bayangkan ketika membaca itu adalah apa yang sedang dialami oleh pembuatnya dan
apa yang beliau pikirkan saat itu. Apa yang sebenernya menjadi tujuan sang
pembuat selain mempengaruhi perempuan lain untuk berfikir sama dengan beliau. Saya
perempuan, tapi saya tidak setuju dengan kalimat itu. Saya tidak ingin
menjadikan wanita seakan akan menjadi wanita yang terus bersikap baik dan akan
terus menjadi yang terbaik di setiap hubungan. Perempuan akan tenggelam dalam
keserakahannya jika melulu memikirkan hal baik akan terjadi. Memikirkan bahwa
kesetiaan yang kita banggakan adalah senjata untuk mengatakan bahwa laki laki
tidak ada yang setia. Satu kali dikhianati, apakah artinya laki laki selanjutnya
juga akan mengkhianati? Apakah artinya selamanya kita tidak akan diizinkan
mempercayai ‘dia’ sebagai orang yang baik dan setia? Apakah itu setia yang kita
busungkan di depan dada kita selama ini? girls?
Dan juga,
tentang bagaimana seorang muslim menghakimi si Kristen, si Buddha, si Cina, dan
lainnya. Bagaimana kita mengatakan orang lain untuk merugi karena tidak memeluk
apa yang kita peluk. Bagaimana kita menghakimi seorang Kristen yang menggunakan
kalung salib kebanggaannya. Bagaimana kita memusuhi teman Buddha yang tidak berpuasa
dibulan Ramadhan. Bagaimana kita memaksa seorang muslim putus dengan pacarnya yang
seorang katolik. Tidakkah kita pernah berpikir kenapa mereka memilih untuk
diam, tidak menghakimi orang lain, tidak balas menghujat, bahkan tidak memberikan
panggung bagi kita? karena mereka ingin hidup dengan baik. Menjadi orang baik,
dan melakukan hal yang baik. Tidakkah kita ingin hanya melakukan sesuatu yang
baik? Menjadi orang yang melakukan kegiatan baik.
Whats going
on in people we live in?
what the
hell is wrong with this condition?
Whats the
point of being such a very-right person?
Tadi, saya
juga melihat foto di Path dengan tulisan:
“ Tidakkah kau tau?Ketika Nabi Muhammad SAW menyuapi Yahudi buta,Ketika Paus Fransiskus merangkul manusia berpenyakit, dan mencuci kaki tahanan Muslim,Ketika Ghandi membela sampai mati hak kaum Muslim,Ketika Bunda Theresa merawat kaum Hindu miskin,Kata Gusdur : ‘ tidak penting apapun agama atau sukumu, jika kamu berbuat baik kepada semua orang. Orang lain tidak akan bertanya apa agamamu ‘ “
Kata kata
itu indah sekali, bagaimana poin tersampaikan bagi kita yang berpikir. Indonesia
sudah semakin pintar, pun maju. Pemikiran penduduknya pun menjadi semakin
liberal dan ‘berbahagia’. Dan itupun menjadi sebuah kesalahan. Sebagai contoh, para kaum ‘liberal’itu
memperluas pengertian cinta, bagaimana agama gender suku ras golongan bukan
lagi jadi issue yang dikhawatirkan. Bukan lagi zamannya untuk menghardik yang
homo dan yang mencintai si Buddha. Pernikahan beda agama? Bukan lagi gossip yang
pantas dihujat. Kata mereka “ karena cinta terlalu universal”.
Dan kami yang
tidak setuju? Kembali akan berkomentar yang buruk. Kembali akan menjadi hakim
dunia yang seakan paling adil. Akan kembali menjadi orang yang merasa paling
baik, hanya karena kita sebagai penyuka lawan jenis sementara mereka penyuka sesama.
Bukankah seorang homoseksual tau apa yang dia kerjakan tanpa perlu kita maki
maki? Bukankah seperti itu? Bukankah kita bisa menjadi orang yang minimal bisa
menghormati orang lain? Bukan apa apa, saya hanya lelah. Saya ingin bisa
menjadi mayoritas yang menghormati keberagaman ini. sekali lagi, ini bukan
perihal siapa yang benar ataupun salah.
” Apakah ketika mereka salah, kemudian kita bisa menjadi benar? “
Bangsa ini
kurang banyak mendengar, bangsa ini belum bisa menghormati dirinya sendiri. Lalu,
maafkanlah orang lain yang tidak berhasil menghormati diri kita. ingat, jangan
pernah mau jadi anjing yang menggonggong karena tidak kenal dengan yang
digonggong. saya tau kamu bukan anjing, maka dari itu berhentilah menggonggong.
Apa sebenarnya
poin dari menjadi sama, jika kita pantas disebut serasi dan rukun karena kita
berbeda, saudara saudaraku?
Comments
Post a Comment